Header Ads

Hari Guru : Antara Dedikasi dan Gimmick


Median
- Setiap tanggal 25 November, guru sebagai entitas vital sebuah bangsa mendapat apresiasi publik karena hari tersebut merupakan kelahiran organisasi besar yang menaungi guru yakni PGRI yang secara resmi didirikan  25 November 1945 tiga bulan pasca kemerdekaan.

Selain upacara ceremonial, guru juga mendapat hadiah dari para murid dengan berbagai bentuk seperti kue, makanan ringan, alat tulis, buket, atau sekedar ucapan terimakasih. Tentu hal ini patut dihargai sebagai ungkapan syukur atas jasa guru dalam mendidik muridnya.

Namun, nampaknya tidak semua guru mendapat hal yang sama. Ucapan terimakasih biasanya diberikan hanya pada guru kelas di sekolah dasar atau wali kelas di sekolah menengah. Sedang guru mata pelajaran tidak mendapat apresiasi sama sekali. Apa yang bisa menjelaskan fenomena ini?

Kenyataan ini tentu tidak perlu dipermasalahkan secara serius karena tidak punya pengaruh apa-apa bagi dunia pendidikan. Namun jika kita analisis setidaknya ada beberapa poin yang mendasari problem ini.

Pertama, Dedikasi. Guru kelas atau wali kelas memiliki waktu lebih lama berinteraksi dengan siswa di kelasnya. Tidak hanya mengajar, guru kelas bertanggung jawab atas semua yang terjadi di kelasnya. Dari aspek pembelajaran, urusan pribadi anak di sekolah maupun hubungan sosial masing-masing anak. Sehingga dibutuhkan waktu, tenaga dan fikiran yang selalu berputar tidak hanya formalitas di ruang kelas tapi sampai dibawa ke rumah hingga 24 jam. Dan itu berlangsung setiap hari. Tak heran jika guru kelas sering dianggap "orangtua" bagi murid-muridnya tempat untuk mencurahkan kegalauan hati siswanya. 

Kedua, Budaya. Nampaknya tahun ini "ucapan selamat" cukup  masif dan nge-trend. Media sosial sangat berperan besar dalam memasifikasi trend ini. Dan galibnya peristiwa yang diposting di media subyeknya guru kelas, sehingga publik melihat bahwa guru kelas merupakan "pahlawan" yang layak untuk diberi ucapan. Jam pembelajaran yang minim membuat walimurid atau murid tidak terlalu dalam mengenal guru mapel. 

Ketiga,  Gimmick. Tentu tidak semua walimurid memberi ucapan tersebut karena ketulusan hatinya, bisa jadi ada yang hanya ikut-ikutan saja. Dan hal demikian harus dibaca secara jernih oleh guru. Bahwa ucapan tersebut jangan sampai mempengaruhi obyektifitas guru dalam memberi penilaian akademik terhadap siswanya. Karena guru kelas sangat menentukan kenaikan dan kelulusan siswa maka jangan sampai terlena oleh "gimmick" yang terbangun dari fenomena ini. 

Keempat, Psikologi. Bisa jadi siswa memberi ucapan pada gurunya karena aspek psikologis, yaitu karena dia dipandang menjadi guru yang ideal menurut perspektif anak. Guru yang disenangi karena dekat dengan murid, pengertian, disiplin, kapabel, berakhlakul karimah tentu akan mendapat apresiasi yang lebih dari guru lain. Karena kesan yang baik akan membekas pada hidup anak didiknya. Dorongan hati untuk memberi ucapan atau bahkan hadiah adalah sebuah tindakan yang sangat wajar apalagi hanya dilakukan setahun sekali. 

Lalu apa yang seharusnya dilakukan?

Empat hal diatas dapat dijadikan bahan renungan kita bersama utamanya poin terakhir, jangan-jangan kita tidak diberi ucapan karena kita memang belum memberikan yang terbaik bagi anak didik kita. Sebagai guru tentu melakukan tupoksinya bukan untuk mendapat apresiasi, tapi harus didasarkan pada keikhlasan menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Apabila mendapat feedback maka anggap saja itu bonus, jika tidak maka bonus di akhirat lebih dari apapun.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.