Header Ads

Berperang Tanpa Senjata: Rekomendasi buat PBNU

Ilustrasi perang pada masa khalifah abbasiyah. Perang jaman dulu mengandalkan kekuatan senjata dan fisik tentara. Tapi perang era milenial lebih mengedepankan kemampuan teknologi informasi yang berbasis pada digital reform. Tanpa memiliki kapabelitas digital perang tidak mungkin dimenangi.

Median - Glorifikasi kasus penolakan Abdul Somad oleh pemerintah Hongkong sejatinya adalah balon besar yang sengaja ditiup kaum bani micin. Pasca kejadian tersebut PBNU secara khusus kyai Said Aqil Siraj langsung jadi sasaran tembak mereka di dunia maya. Kyai Said dituduh sebagai dalang dibalik penolakan Somad masuk di negeri tirai bambu tersebut.

Narasi yang dibentuk ketum NU sebagai aktor intelektual dan kepala BNPTKI sebagai eksekutornya. Isu ini yang terus dipabrikasi lewat media sosial. Tujuannya hanya satu membunuh karakter kyai Said dan NU secara umum di mata publik. Dengan terbunuhnya nama baik beliau secara pelahan massa akar rumput akan menjauhi pemimpinnya karena dinilai cacat etika. Jika jamaah telah tercerai dari jamiyah maka secara organisasi NU mudah diadu domba dan dipatahkan. Tujuan akhirnya NKRI akan disuriahkan.

Bergerak cepat PBNU kemudian memberi klarifikasi bahwa NU tidak terlibat sama sekali. Tuduhan tersebut adalah pembodohan dan penyerangan secara terang-terangan pada institusi PBNU. Kyai Said dengan sikap kenegarawanan menanggapi dengan santai. Biarlah saya difitnah hitung-hitung mengurangi dosa. Statemen yang menyejukkan khas kyai khos.

Kasus fitnah seperti ini sebenarnya sudah kerap menimpa PBNU. Namun acapkali tidak mendapatkan jawaban dan tanggapan yang serius. Berbeda dengan tetangganya Muhammadiyah yang bisa dikatakan tidak pernah mendapat isu miring karena hemat saya memang secara ideologis memiliki platform beririsan. Setidaknya dalam mengembangkan gerakan purifikasi Islam.

Barangkali hanya prof. Syafii Maarif yang sering menjadi objek fitnah karena kedekatannya dengan pemikiran Islam moderat. Tiap mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan mainstream faksi sayap kanan serangan membabi buta langsung diarahkan.  Tapi selebihnya tidak ada isu yang serius dialami ormas  terbesar kedua ini.

Ada tiga hal yang harus dibenahi secara mendasar oleh PBNU jika tidak ingin terkoyak di dunia maya.
Pertama, kesadaran bermedia sosial yang masih minim. Secara kalkulatif Indonesia termasuk penduduk terbesar yang menggunakan Facebook di Asia. Jika separuh saja penggunanya berarti ada sekitar 100 juta lebih.

Penggunanya dari kelas bawah menengah dan kelas atas. Termasuk orang-orang yang secara tradisonal berafiliasi dengan NU. Jika kita asumsikan nahdiyin yang menggunakan FB 50 juta saja, akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk pembentukan opini atau counter wacana.

Sayangnya potensi besar seperti ini belum tergarap secara taktis. Ada beberapa fanpage yang berlabel NU termasuk NU Online sebagai Fp utama. Tapi jumlah follower terbanyak NU Online hanya 1 juta. Jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan jamaah NU di negeri ini. Itupun tidak semua mengaku sebagai NU, ada yang non muslim, luar ormas bahkan agen wahabi yang sering membuat gaduh lewat jejaring komentar.

Tak heran jika NU mudah dipojokkan di Facebook dan dibantai ramai-ramai oleh cyber micin. Karena followernya tidak aktif dan tidak melawan balik bahkan banyak yang malah ikut menyerang karena termakan propaganda.

Jadi untuk melawan serangan atau mengkampanyekan Islam progresif mau tidak mau harus membuat sistem agar orang NU mau membanjiri komentar positif yang menguatkan NU dan bersama-sama menjadi follower FP resmi NU.

Bisa dimulai dengan mewajibkan anggota ranting NU, Ansor, Ipnu, KMNU untuk menjadi follower NU Online. Setelah mengikuti FP tersebut wajib meng-like, komentar positif dan membagikan ke teman minimal  setiap hari satu kali.

Jika  cara ini dilakukan maka kita bisa menaklukkan opini bani micin dengan sangat mudah. Provokasi bisa diruntuhkan sekali kokang. Framing bisa dibenturkan balik. Dan kader NU akan disegani netizen. (Bersambung)




1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.