Header Ads

Telaah Kitab Syarah Al Yaqutun Nafis : Salat Jamak Taqdim


Median - Bagi orang Islam yang sedang bepergian atau uzur tertentu diperbolehkan menyatukan dua salat dalam satu waktu. Istilah ini disebut salat jamak. Jamak ada dua yaitu Taqdim dan Ta'khir.

Jamak Taqdim artinya menyatukan dua salat di waktu yang pertama. Seperti Zuhur dan Asar di waktu Zuhur dan Magrib dan Isya' di waktu Magrib.

Syarat jamak taqdim:

1. Mendahulukan salat yang lebih awal. Artinya mengerjakan Zuhur kemudian Asar, atau Magrib lalu Isya'. Tidak boleh dibalik.

2. Niat salat jamak taqdim. Yang utama dilakukan saat takbiratul ihram di salat yang pertama.
Niat ketika salat Zuhur : Usolli fardoz zuhri majmu'an bil 'asri jam'a taqdimin lillahi ta'ala.
Setelah salat Zuhur lalu salat Asar dengan niat : Usolli fardol 'asri majmu'an biz zuhri jam'a taqdimin lillahi ta'ala.  Boleh niat jamak saat menjalankan salat yang pertama.(1)

3. Dilakukan secara kontinyu. Artinya setelah selesai mengerjakan salat Zuhur lalu dilanjutkan salat Asar tanpa sela. (2)

4. Adanya uzur sampai selesai membaca takbiratul ihram salat yang kedua. (3)

5. Mempunyai prasangka kuat kalau salat yang pertama sah.(4)

6. Mengetahui kebolehan salat jamak.(5)

Adapun salat jamak dan qasar bagi musafir dikenai dua syarat lagi yaitu 1. Perjalanannya tidak untuk maksiat  2. Menempuh perjalanan dengan jarak minimal 80,5 Km. (6)

__________________________________________________
(1) Lafaz niat dicontohkan oleh Syeh Nawawi Al Bantani (Kasyifatus Saja, Abu 'Abdul Mu'ti Muhammad Nawawi Al Jawi, hal 85). Apabila ada orang yang sebelumnya salat Zuhur tapi dia kemudian berkeinginan menjamak salat, maka sebelum salam di salat yang pertama dia boleh niat jamak. (Yaqutun Nafis, hal. 231)
(2) Definisi sela artinya sepanjang durasinya tidak sampai 2 rakaa't salat. (Yaqutun Nafis, hal 231)
(3) Uzur disini maksudnya masih dalam keadaan safar. Jadi sampai selesainya takbiratul ihram salat yang kedua harus masih dalam perjalanan. Apabila  belum takbiratul ihram kedua sudah sampai rumah maka tidak boleh jamak. Sehingga salat kedua dilaksanakan secara ada'. Jika ada orang niat salat jamak kemudian setelah salat yang pertama selesai tidak dilanjutkan dengan salat yang kedua maka salat yang pertama tetap sah. (Taqriratus Sadidah, Habib Zen Bin Smith, hal. 320) 
(4) Jika musolli ragu-ragu salat pertama sah atau tidak apalagi batal maka salat jamaknya tidak sah karena dalam salat jamak taqdim itu mewajibkan sahnya salat yang pertama.  (Taqriratus Sadidah, hal. 319) 
(5) Artinya musolli harus yakin bahwa jarak perjalanannya sudah melebihi jarak minimal salat jamak. (Taqriratus Sadidah, hal. 320) 
(6) Konversi jarak 16 farsah menjadi 80,5 Km dikutip dari penjelasan Yusuf Abdur Razaq. (Syarah Ibnu Qosim, hal 93). Dalam kitab Yaqutun Nafis diterangkan juga jarak perjalanan dua marhalah (dua hari atau dua malam). Ulama' lain berpendapat sejauh 48 mil Hasyimiyah. (Yaqutun Nafis, hal 225). Dua marhalah sebanding dengan 24 jam perjalanan  meskipun dengan transportasi modern (Syarah Ibnu Qosim, hal 93) Jarak ini dihitung dari rumah sampai tujuan, bukan pulang pergi.  Salat jamak harus dikerjakan pada saat perjalanan bukan di rumah artinya salat dilaksanakan di luar batas desa (Syarah Ibnu Qosim, hal 90).  
Lebih jauh diterangkan juga bahwa  status safar selesai karena 4 perkara :
1. Sampainya seseorang di tempat awal mula perjalanan dari desanya yaitu batas desa. 
2. Sampainya seseorang di tempat lain selain desanya apabila dia  sebelum sampai tempat tersebut niat mukim secara mutlak atau niat mukim 4 hari penuh. Apabila dia tidak niat mukim maka safarnya masih berlanjut. Tetapi harus diniati mukim apabila sudah menetap 4 hari.
3. Menetap di tempat selain desanya selama 4 hari.
4. Niat pulang ke desanya atau niat ke tempat lain tanpa hajat apapun. Jika dia niat pulang ke rumah maka status safarnya menjadi baru.(Syarah Ibnu Qosim, hal 91)  
Penjelasan ini juga diterangkan secara detil oleh Sayyid Abu Bakar Syata. (I'anatut Talibin Juz 2, Sayyid Abu Bakar Syata, hal 101) dan Syeh Nawawi Al Jawi (Simarul Yani'ah, Syeh Nawawi Al Jawi, hal 43).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.